Friday, April 10, 2009

SRI RAAMNAWAMI

Dari wacana Bhagawan pada hari Sri Raama Navami, 12-4-2000

SEMAYAMKAN ASAS RAAMA DI DALAM HATIMU


Setelah diselidiki manusia akan insaf bahwa amal, pengurbanan seperti yajna dan yaaga, kedudukan yang terhormat, kepatuhan pada kebenaran, upacara suci, atau bahkan sanaatana dharma, semuanya tidak berarti bila dibandingkan dengan asas kasih.

( Puisi bahasa Telugu ).


Pengejawantahan kasih!

Di tanah Bhaarat yang keramat ini, tiada orang yang tidak tahu tentang epik Raamaayana. Raamaayana memberikan ideal yang dapat diteladan individu, keluarga, dan masyarakat pada umumnya. Sejak zaman dahulu ribuan orang telah mendengarkan kisah Sri Raama, tetapi tidak banyak yang berusaha melaksanakan ajaran Beliau. Walaupun lahir sebagai manusia, orang-orang tidak berusaha memahami sifat kemanusiaannya. Ia mencapai kemajuan dalam berbagai bidang, tetapi pikirannya tidak kunjung berubah. Apa guna kehidupan manusia, jika manasnya tidak mengalami perubahan? Ia mengubah pakaiannya, bukan pikirannya. Daripada mengubah pakaian, jauh lebih baik jika ia mengubah pikirannya. Segala latihan spiritual seperti meditasi, tapa, dan sebagainya, akan sia-sia saja, jika pikiran manusia tidak berubah. Mano muulam idam jagat, artinya ‘manas merupakan landasan bagi seluruh dunia’. Manusia tidak berusaha memahami apa yang paling penting pada jalan spiritual.


Tiga Utang Manusia


Manusia lahir dengan tiga jenis utang: utang kepada Tuhan, utang kepada para resi, dan utang kepada orang tua. Tuhan ada pada setiap sel tubuh manusia dalam bentuk anggiirasa, dan Beliaulah yang melindungi serta memelihara kehidupan manusia. Karena itu, manusia sangat berutang budi kepada Tuhan yang bergetar dalam setiap anggota badannya dalam bentuk energi ketuhanan. Manusia hanya dapat melunasi utangnya kepada Tuhan dengan melakukan perbuatan yang baik dan suci serta bekerja bagi kesejahteraan sesama manusia. Itulah sebabnya jalan pengabdian disarankan kepada manusia untuk melunasi utangnya kepada Tuhan. Manusia harus melakukan darmabakti bukannya dengan perasaan bahwa ia berbuat baik kepada orang lain, melainkan dengan pengertian bahwa ia membayar utangnya kepada Tuhan. Setiap perbuatan menolong atau melayani, walaupun sedikit atau kecil, mengurangi sejumlah utangnya kepada Tuhan.

Jangan menghasratkan kedudukan atau kekuasaan. Engkau harus insaf bahwa tubuh diberikan kepadamu untuk melayani dan menolong makhluk lain. Pelayan sejati adalah pemimpin sejati. Engkau harus menyucikan hidupmu dengan menempuh jalan darmabakti dan melunasi utangmu kepada Tuhan.

Utang kedua yang harus dilunasi manusia adalah utang kepada orang-orang suci dan para resi. Para resi dan kaum bijak waskita zaman dahulu mengetahui masa lalu, sekarang, dan masa depan manusia. Mereka mengetahui rahasia darma. Karena itu, mereka menetapkan berbagai pedoman tingkah laku dan jalan spiritual bagi manusia sehingga manusia dapat memperoleh pemenuhan dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Manusia dapat melunasi utangnya kepada para resi dengan mengikuti dan mengamalkan ajaran mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Utang ketiga adalah utang kepada orang tua kita. Orang tua bersusah payah memelihara dan mendidik anak-anaknya. Ibu adalah guru pertama bagi manusia. Veda menyatakan, “Matru Devo bhava, pitru Devo bhava,” ‘hormati ibu dan ayahmu sebagai ( perwujudan ) Tuhan’. Untuk melunasi utang kepada orang tua, manusia harus berikhtiar agar tidak lahir lagi.
Pada waktu lahir dari kandungan ibumu engkau tidak mengenakan kalung mutiara atau emas. Tidak ada kalung permata ataupun zamrud. Akan tetapi, pasti ada kalung berat yang tergantung di lehermu yaitu kalung yang terbuat dari akibat segala perbuatanmu ( dalam kehidupan-kehidupan ) yang lampau, entah baik atau buruk. Inilah kalung yang diberikan Tuhan kepadamu.

( Puisi bahasa Telugu ).


Engkau lahir dengan kalung karma ini, karena itu engkau harus menempuh hidupmu sedemikian rupa agar tidak lahir lagi.

Manusia lahir untuk melunasi ketiga jenis utang ini, bukan untuk mengumpulkan harta dan menyia-nyiakan hidupnya dalam kenikmatan duniawi. Pada zaman modern ini orang-orang menyatakan diri sebagai abdi Tuhan, tetapi kelakuan mereka tidak sesuai dengan kenyataannya.
Amalkan Ajaran Sri Raama

Suatu kali Buddha mengembara ke segala penjuru negeri untuk mengajarkan kebenaran. Ketika tiba di suatu desa, Buddha merasa lelah dan keadaannya tidak memungkinkan Beliau menyampaikan wacana. Karena itu, Beliau memberitahu salah seorang murid utama agar berbicara kepada umat. Buddha beristirahat di dalam. Karena tidak bisa tidur, Beliau mendengarkan pembicaraan murid-Nya. Murid itu berkata, “Oh hadirin sekalian, tokoh seperti Buddha belum pernah lahir sebelumnya dan tidak akan pernah lahir lagi kelak. Kita semua sangat beruntung karena hidup sezaman dengan Beliau. Karena itu, manfaatkan kesempatan yang sangat berharga ini sebaik-baiknya.” Mendengar ini membahanalah tepuk tangan umat. Buddha keluar dan bertanya kepada murid Beliau, “Nityaananda, berapa umurmu?” Nityaananda berkata bahwa ia berusia tiga puluh lima tahun. Kemudian Buddha bertanya, “Sudahkah engkau bepergian jauh?” Nityaananda berkata bahwa ia baru mengunjungi beberapa kota. Kemudian Buddha menegur Nityaananda dengan berkata, “Engkau belum banyak melihat dunia. Engkau baru berusia tiga puluh lima tahun. Dengan wewenang apa engkau dapat berkata bahwa seorang tokoh seperti Buddha belum pernah lahir sebelumnya dan tidak akan lahir lagi? Banyak jiwa mulia yang telah lahir dan masih banyak lagi yang akan lahir kelak. Dunia tidak bisa ada, jika tidak ada jiwa-jiwa yang mulia di dalamnya.”


Tidak Seorang pun Dapat Melukiskan Asas Ketuhanan

Di dunia ini tidak ada tempat tanpa Tuhan. Mungkin engkau tidak dapat melihat-Nya, tetapi seluruh alam semesta ini diliputi Tuhan. Segala yang kaulihat, kaukatakan, dan kaulakukan tidak lain adalah kehendak Tuhan. Tidak seorang pun dapat melukiskan asas ketuhanan.

Hari ini kalian merayakan ulang tahun Sri Raama. Tidak ada gunanya merayakan hari ulang tahun tokoh-tokoh mulia jika engkau tidak melaksanakan ajarannya. Ada dikatakan, “Raamo vigrahavan dharmah” ‘Raama adalah perwujudan darma’. Pembicaraan Beliau sarat kebenaran dan tingkah laku Beliau memancarkan kedamaian. Adakah ideal yang lebih luhur daripada ini? Segala nama dan wujud adalah milik Beliau, dan Beliau adalah perwujudan kebenaran, kesadaran, serta kebahagiaan jiwa.

Keempat bersaudara: Raama, Lakshmana, Bharata, dan Shatrughna bukan manusia biasa. Dilihat dari segi pandang-an duniawi Dasharatha adalah raja Ayodhyaa. Kelirulah jika mengira Ayodhyaa adalah kota tempat kelahiran Sri Raama. Suatu kali Ashok Singhal ( waktu itu menteri ) bertanya kepada-Ku di mana sebenarnya tempat lahir Raama. Kukatakan kepadanya bahwa tempat lahir Raama adalah rahim Kausalyaa. Kukatakan juga kepadanya agar tidak membatasi Raama pada wujud jasmani. Raama meliputi segala sesuatu. Apakah Ayodhyaa? Tempat yang tidak terkalahkan dan tidak dapat dimasuki musuh yaitu hridaya ‘hati spiritual’. Dasharatha berarti kereta tubuh manusia yang terdiri dari sepuluh indra. Ia mempunyai tiga istri yaitu: Kausalyaa, Kaikeyii, dan Sumitraa yang masing-masing menggambarkan sifat sattvika, rajasika, dan tamasika. Ketiga istri ini mempunyai empat putra yaitu: Raama, Lakshmana, Bharata, dan Shatrughna yang masing-masing melukiskan Rig Veda, Yajur Veda, Saama Veda, dan Atharvana Veda. Bakti dan kepasrahan sejati terletak dalam pemahaman makna batiniah Raamaayana.

Kausalyaa sangat luhur budinya, tenang, dan sabar. Demikian pula Sumitraa juga murni hatinya, dan sesuai dengan arti namanya, ia adalah teman baik setiap orang. Idealnya tidak ada bandingnya. Ketika Raama sebelum berangkat ke tempat pembuangan, pergi berpamitan dan mohon restu Ibu Kausalyaa, ia menangis sambil berkata, “Nak! Aku tidak dapat hidup sedetik pun tanpa Ananda.” Pada waktu itu Sumitraa menghiburnya, “Kakakku sayang, Tuhan sendiri telah lahir sebagai putra Kakak, Raama. Raama tidak akan pernah bisa jauh dari siapa pun. Akan tetapi, Beliau harus bertindak sesuai dengan waktu, tempat, sebab, dan keadaannya. Jangan sedih karena Beliau pergi jauh dari Kakak. Beliau akan segera kembali.”

Apa nasihat Sumitraa kepada putranya, Lakshmana, ketika ia datang berpamitan dan mohon restu sebelum berangkat ke hutan? Sumitraa berkata kepadanya, “Nak, jangan beranggapan bahwa engkau pergi ke hutan. Ayodhyaa berada di mana Raama berada. Tanpa Siitaa dan Raama, Ayodhyaa ini hanyalah hutan. Siitaa adalah ibumu, Raama adalah ayahmu. Abdilah mereka dengan kasih. Itulah tugas utamamu.” Ia menasihati putranya yang kedua, Shatrughna, agar mengabdi Bharata.

Resi Vasishtha Mengungkapkan Rahasia Suci

Apa yang menyebabkan hubungan erat antara Raama dan Lakshmana, Bharata dan Shatrughna? Dalam hal ini engkau harus mempertimbangkan suatu peristiwa yang terjadi sebelum mereka lahir. Ketika timbul paayasam ‘semacam bubur manis’ dari api yajna Putrakaameshti ‘upacara pengurbanan untuk memohon keturunan’ yang diselenggarakan Maharaja Dasharatha, Resi Vasishtha memeberitahu Maharaja agar membagikan paayasam itu kepada ketiga permaisurinya. Para cendekiawan menyimpangkan fakta dengan mengatakan bahwa paayasam itu dibagikan dalam perbandingan yang berbeda. Dasharatha memperlakukan ketiga permaisurinya secara sama, ia tidak pilih kasih. Dibaginya paayasam itu dalam tiga bagian yang sama dan diberikannya kepada setiap permaisuri. Diberitahunya mereka agar melakukan upacara mandi sebelum meminum paayasam itu. Kausalyaa dan Kaikeyii sangat senang. Mereka menyimpan paayasam bagiannya di tempat yang aman lalu pergi ke dalam untuk melakukan upacara mandi. Namun Sumitraa tidak terlalu gembira. Ia berpikir, “Karena Kausalyaa adalah permaisuri pertama Dasharatha, putra yang lahir darinya mempunyai peluang besar untuk menjadi putra mahkota. Bahkan putra Kaikeyii pun bisa naik takhta karena Dasharatha telah berjanji kepada ayahnya. Namun putra yang akan lahir dariku tidak mempunyai peluang untuk menjadi putra mahkota.”

Sambil berpikir seperti itu, ia menyelesaikan upacara mandinya. Karena pada masa itu tidak ada kipas angin atau pengering rambut, ia pergi ke teras. Diletakkannya mangkuk berisi paayasam di sampingnya lalu ia berjemur di bawah sinar matahari untuk mengeringkan rambutnya. Seekor rajawali yang terbang dari suatu tempat tiba-tiba menukik dan menyambar mangkuk berisi paayasam itu. Sumitraa terperanjat. Sebenarnya ia bukan sedih karena kehilangan paayasam itu, melainkan takut kalau ditegur oleh Maharaja Dasharatha, suaminya, karena kecerobohannya. Ia menemui Kausalyaa dan Kaikeyii serta menjelaskan keadaannya yang menyedihkan. Mereka menyayangi Sumitraa sebagaimana Sumitraa juga menyayangi mereka. Karena itu, mereka merasa kasihan kepada Sumitraa, dan mereka masing-masing memberikan sebagian paayasam jatahnya kepada Sumitraa. Dari bagian paayasam pemberian Kausalyaa, Sumitraa melahirkan Lakshmana. Sedangkan Shatrughna lahir dari bagian paayasam pemberian Kaikeyii. Karena itu, Lakshmana yang lahir dari ( paayasam ) bagian Kausalyaa, memiliki ikatan batin yang sangat mendalam dengan Raama, sedangkan Shatrughna yang lahir dari ( paayasam ) bagian Kaikeyii, mempunyai ikatan batin yang sangat mendalam dengan Bharata.

Kedua putra Sumitraa, Lakshmana dan Shatrughna segera menangis begitu mereka lahir, sedangkan Raama, putra Kausalyaa, dan Bharata, putra Kaikeyii terbaring dalam ayunan masing-masing dengan senyum bahagia. Kedua putra Sumitraa membuat setiap orang kebingungan karena mereka menangis tanpa henti. Sumitraa mencoba berbagai cara untuk menghentikan tangis anak-anak itu, tetapi tidak berhasil. Maharaja Dasharatha berkonsultasi dengan beberapa dokter untuk mengobati penyakit aneh yang diderita kedua putra Sumitraa, tetapi tidak ada faedahnya. Akhirnya, sebagai ikhtiar terakhir untuk memecahkan masalahnya, Sumitraa memanggil Resi Vasishtha. Resi agung yang termasyhur itu bermeditasi selama beberapa waktu kemudian berkata, “Oh Ibu, Ibu tidak perlu memberikan obat apa pun untuk meringankan penderitaan para putra Ibu. Yang harus Ibu lakukan hanyalah membaringkan Lakshmana di samping Raama, dan meletakkan Shatrughna dalam ayunan Bharata.” Sumitraa melaksanakan hal itu dan mendapati bahwa Lakshmana dan Shatrughna langsung berhenti menangis. Kedua bayi yang selama itu tidak mau menyusu kemudian mulai mau menyusu dan bermain dalam ayunan. Karena sangat heran melihat kelakuan anak-anaknya yang berubah secara mendadak, Sumitraa mohon kepada sang resi agar menjelaskan sebabnya. Vasishtha menerangkan kepadanya, “Oh Ibu, Lakshmana dan Shatrughna masing-masing adalah amsha ‘bagian’ dari Raama dan Bharata. Karena itu, bila mereka bersatu, mereka sangat bahagia.”


Menunggallah dengan Tuhan dan Akhiri Penderitaanmu

Sri Krishna menyatakan dalam Bhagawad Giitaa,
“Mamai-vaamsho jiivaloke jiivabhuutah sanaatanah,
‘Atma yang abadi dalam segala makhluk adalah bagian dari Diri-Ku’.

Engkau menanggung sakit, kesedihan, dan penderitaan karena engkau tidak menyatukan kesadaranmu dengan Tuhan. Begitu menunggal dengan ( kesadaran ) Tuhan, engkau akan bebas dari segala kesulitan. Penderitaan Lakshmana berakhir begitu ia berada di dekat Raama. Ia melewatkan seluruh hidupnya untuk mengabdi Raama. Demikian pula Shatrughna mengabdi Bharata sepanjang hidupnya. Di dunia dewasa ini tidak mungkin menjumpai saudara-saudara lelaki seperti Raama, Lakshmana, Bharata, dan Shatrughna. Kita jumpai banyak saudara kembar yang bernama Raama dan Lakshmana, tetapi mereka saling bertengkar mengenai rumah warisan dan bahkan pergi ke Mahkamah Agung untuk menyelesaikan masalahnya. Namun, Raama dan Lakshmana dalam Raamaayana mencapai tingkat spiritual yang tertinggi melalui persatuan.

Ketika Lakshmana pingsan di medan pertempuran, Raama melemparkan busur dan panah Beliau, meletakkan kepala Lakshmana di atas pangkuan Beliau dan meratap, “Oh Lakshmana, di dunia yang luas ini mungkin Saya bisa mendapat seorang ibu seperti Kausalyaa, atau istri seperti Siitaa, tetapi Saya tidak akan pernah dapat memperoleh adik seperti Adinda.” Demikianlah kasih sayang agung Sri Raama bagi Lakshmana. Ini ideal yang luhur bagi umat manusia. Tidak ada gunanya membaca kitab suci Raamaayana, jika engkau tidak menerapkan ideal yang diperlihatkan di situ. Engkau harus berusaha memahami tujuan di balik setiap tindakan Raama dan bagaimana Beliau melakukannya. Raamaayana mengandung arti yang jauh lebih mendalam daripada sekadar kisah Raama pergi ke hutan, membinasakan Raavana, dan akhirnya dinobatkan sebagai Raja Ayodhyaa. Beliau menjelma untuk menegakkan darma. Apakah darma? Darma adalah sesuatu yang menyenangkan hati kita. Jika manusia menempuh jalan yang tidak benar, suara hatinya tidak akan menyetujui perbuatannya karena setiap manusia merupakan perwujudan darma. Ia lahir untuk mengamalkan darma. Akan tetapi, karena terpengaruh oleh kesenangan duniawi, ia menjadi sengsara.

Pada waktu akan berangkat ke hutan, Raama berusaha sedapat mungkin menasihati Siitaa agar tidak ikut serta. Diberitahunya Siita bahwa akan sulit sekali baginya tinggal di hutan di antara iblis yang ganas dan binatang-binatang buas. Akan tetapi, Siitaa bukan wanita biasa. Ia adalah putri Ibu Bumi. Ia memiliki segenap kekuatan Ibu Bumi. Ia bersikeras bahwa sebagai istri Beliau, maka darmanya adalah mengikuti Beliau dalam segala keadaan. Siitaa berkata, “Padukalah yang melindungi seluruh alam semesta, tidak dapatkah Paduka menjaga saya?” Raama menghendaki agar Siitaa tinggal di Ayodhyaa dan mengurus orang tua Beliau yang sudah lanjut usia. Siitaa menjawab, “Saya diberitahu bahwa Paduka mendesak ibu Paduka, Kausalyaa, agar tetap tinggal di sini dan melayani suami beliau. Akan tetapi, dalam hal saya, Paduka mengubah sikap Paduka dengan mengatakan bahwa tugas utama saya adalah melayani mertua dan bukan suami. Suami adalah dewata bagi istri. Hal ini berlaku bukan hanya untuk ibu Paduka, melainkan untuk semua wanita tanpa perkecualian.” Siitaa melanjutkan sebagai berikut. “Paduka adalah Raamachandra, sang bulan, dan saya adalah Siitaa, cahaya bulan. Mungkinkah cahaya bulan berada di Ayodhyaa, jika bulannya berada di dalam hutan? Bulan dan cahayanya satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Apa pun yang terjadi, saya menyertai Paduka ke hutan.” Dengan keberanian dan tekad seperti itu Siitaa siap menghadapi segala kesulitan agar dapat menyertai Raama. Engkau harus menerapkan ideal yang luhur seperti itu dalam hidupmu.

Apa yang terjadi dengan paayasam bagian Sumitraa yang disambar burung rajawali? ( Mangkuk berisi ) paayasam itu ditinggal di suatu gunung dan diminum oleh Anjanii Dewi. Akibatnya ia melahirkan Hanumaan. Inilah yang menyebab-kan persahabatan karib antara Hanumaan dengan keempat bersaudara: Raama, Lakshmana, Bharata, dan Shatrughna. Hanya sedikit sekali yang mengetahui hal ini.


Bakti Hanumaan yang Agung

Ketika Siitaa dan Raama kembali ke Ayodhyaa, rakyat bukan main senangnya. Pada waktu penobatan, Raama membagi-bagikan hadiah kepada semua yang telah mem-bantu Beliau dalam perang, kecuali Hanumaan. Ketika ditanya oleh Siitaa, Raama berkata bahwa Hanumaan tidak mempedulikan hadiah apa pun dan Beliau tidak mempunyai hadiah yang layak untuk dianugerahkan kepadanya. Kemudian Siitaa melepaskan kalung mutiaranya dan memberikannya kepada Hanumaan. Hanumaan menarik setiap butir mutiara, meletakkannya di antara giginya, membawanya ke dekat telinganya, dan kemudian dengan wajah kecewa, melemparkannya dengan perasaan muak. Karena heran melihat kelakuan Hanumaan, Siitaa berkata, “Hanumaan, ini kalung mutiara berharga yang dihadiahkan kepada saya oleh ayah saya, tetapi Anda membuang mutiara-mutiara itu tanpa menyadari nilainya. Tampaknya Anda belum membuang sifat monyet Anda.” Hanumaan menjawab, “Oh Ibu, saya memeriksa setiap butir mutiara untuk melihat apakah benda itu mengandung nama suci Sri Raama. Saya tidak menemukannya dalam semua mutiara itu. Tanpa nama Sri Raama, benda itu hanyalah batu dan kerikil. Karena itu, saya lemparkan benda itu ke tanah. Bahkan rambut saya sarat dengan nama Raama.” Sambil berkata begitu, dicabutnya sehelai bulu dari tangannya dan didekatkannya pada telinga Siitaa. Siitaa dapat mendengar nama Raama timbul dari bulu itu. Siitaa mulai memuji Hanumaan sebagai berikut.

“Andalah permata termulia di antara para kera yang menyelesaikan misi Sri Raama. Andalah pahlawan perkasa yang menemukan tempat Siitaa dan menghancurkan kota Langka.
( Puisi bahasa Telugu ).

Dapat dikatakan bahwa jika bukan karena Hanumaan, Raamaayana mungkin tidak ada. Ia adalah pengejawantahan bakti dan kepasrahan. Hanumaan hadir di mana pun nama Sri Raama dikidungkan. Nama dan wujud Sri Raama tidak berbeda. Hanumaan mengalami kemenunggalan ini. Itulah asas non-dualisme. Kausebut dirimu bakta Sri Raama dan kaubaca kitab suci Raamaayana berulang-ulang, tetapi ada-kah perubahan dalam pikiran dan perasaanmu? Sama sekali tidak. Ini bukan bakti sejati, tetapi hanya pameran bakti. Raama tidak menyukai kemegahan dan pamer. Beliau hanya mementingkan pelaksanaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai melalui pelaksanaan. Berusahalah memahami asas Raama dengan benar.

Kemudian Bhagawan menyanyikan kidung suci, “Raama, Raama, Raama Siitaa …,” dan umat mengikuti bersama dengan sangat gembira.

Dalam kisah Raamaayana engkau harus memahami prinsip Siitaa. Sebelum pergi ke hutan, Raama membagi-bagikan harta Beliau kepada orang-orang miskin. Siitaa mengikuti teladan Raama dan membagikan pakaian serta perhiasannya. Demikianlah dengan meninggalkan keinginan duniawinya, ia dapat menyertai Raama. Akan tetapi, di hutan ia ingin memiliki kijang kencana dan akibatnya menjadi jauh dari Beliau. Dewasa ini manusia juga terbelenggu oleh keinginannya. Jika engkau membuang keinginanmu, engkau dapat mencapai Tuhan.

Na karmanaa na prajayaa dhanena tyaagenaikena amrtattva manashuh

Artinya,
‘Keabadian hanya dapat dicapai melalui pengorbanan, bukan dengan harta, keturunan, ataupun perbuatan baik’.

Engkau hanya dapat mencapai Raama melalui pengorbanan. Dari Raamaayana engkau harus mencamkan amanat pengorbanan. Engkau harus menyemayamkan asas Raama di dalam hatimu. Raama melaksanakan satya ‘kebenaran’ dan darma ‘kebajikan” sepanjang hidupnya. Engkau harus mengikuti kedua prinsip ini dengan teguh dalam hidupmu.

Setelah itu Bhagawan menyanyikan kidung suci, “Raama Kodanda Raama …” dan menasihati para bakta agar mengisi hati mereka dengan intisari kisah Raamaayana serta terus mengucapkan nama Raama sepanjang waktu untuk mencapai kebahagiaan abadi.

Bhagawan menyudahi wacana Beliau dengan kidung suci, “Prema Mudita Manase Kaho” ‘Dengan Hati Penuh Kasih’.

Dari wacana Bhagawan pada hari Sri Raama Navami, 12-4-2000, di Pendapa Sai Ramesh, Brindavan

Diterjemahkan : Dra. Retno Buntoro